Kesimpulan Kaidah Pertama
Di dalam kaidah pertama dari kitab Qawa’id Arba’, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan penegasan kepada kita mengenai :
– Keadaan kaum musyrikin Quraisy di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
– Bahwa mereka telah mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah
– Meskipun demikian, pengakuan itu belum bisa memasukkan ke dalam Islam
– Hal ini menunjukkan bahwa hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah
– Konsekuensi dari tauhid ini adalah meninggalkan segala sesembahan selain Allah
Dari poin-poin faidah di atas, kita mengetahui kekeliruan sebagian orang :
– Mereka menganggap bahwa inti tauhid adalah mengesakan Allah dalam rububiyah-Nya
– Mereka menganggap bahwa kaum musyrikin tidak beriman kepada Allah dalam hal rububiyah
– Mereka menganggap bahwa tauhid rububiyah sudah bisa memasukkan ke dalam Islam
– Mereka menganggap bahwa laa ilaha illallah bermakna tiada pencipta selain Allah
Berikut ini nukilan dari para ulama yang menegaskan kesimpulan di atas :
Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Kaidah yang pertama yaitu bahwa tauhid rububiyah tidaklah memasukkan siapa pun ke dalam Islam. Tauhid rububiyah bukanlah tauhid yang dituntut…” (lihat Syarh Syaikh alu Syaikh, hal. 10)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah cukup dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Dengan demikian dapat diketahui kebatilan keyakinan para pemuja kubur di masa kini dan yang serupa dengan mereka yang mengatakan bahwa makna laa ilaha illallah adalah Allah itu ada, atau menafsirkan laa ilaha illallah dengan makna Allah sebagai satu-satunya pencipta yang berkuasa mengadakan dan mewujudkan dan lain sebagainya.” (lihat Ma’na Laa ilaha illallah wa Muqtadhaha, hal. 31)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)
Makna Kalimat Tauhid
Dengan memperhatikan kesimpulan dan penjelasan para ulama di atas teranglah bagi kita bahwa makna kalimat tauhid laa ilaha illallah adalah ‘tiada sesembahan yang benar selain Allah’. Dan adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal menafsirkan laa ilaha illallah dengan ‘tiada pencipta selain Allah’, atau ‘tiada penguasa selain Allah’, atau ‘tiada pemberi rizki selain Allah’, atau ‘tiada pemberi ketetapan hukum selain Allah’, atau ‘tiada sesembahan selain Allah’.
Oleh sebab itu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah beliau yang lain mengatakan, “Ketahuilah, bahwa kalimat ini mengandung penafian dan penetapan. Penafian hak untuk disembah dari selain Allah subhanahu wa ta’ala apakah itu dari kalangan para rasul bahkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula penafian ibadah kepada para malaikat bahkan Jibril sekalipun, lebih-lebih lagi selain mereka dari kalangan nabi dan orang salih. Dan di dalam kalimat itu juga terkandung penetapan ibadah untuk Allah -semata-.” (lihat dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 19)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Maka manusia yang paling salih yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan malaikat yang paling baik yaitu Jibril. Meskipun demikian, seandainya ada orang yang beribadah kepada Jibril atau beribadah kepada Muhammad maka dia menjadi musyrik dan kekal di neraka. Karena Allah tidak ridha dipersekutukan bersama-Nya siapa pun juga. Apakah itu dari kalangan malaikat, para nabi, orang salih, ataupun berupa pohon dan batu. Oleh sebab itulah Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)…” (lihat Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 20)
Sehingga, makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallah itu adalah ‘tiada sesembahan yang benar selain Allah’. Maksudnya adalah wajib berlepas diri dari segala sesembahan selain Allah dan mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh sebab itu kalimat tauhid ini memiliki dua buah pilar; kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus.” (al-Baqarah : 256) (lihat Syahadat anLaa ilaha illallah oleh Syaikh Dr. Shalih Sindi, hal. 50-51)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Makna laa ilaha illallah adalah berlepas diri dari ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan mengikhlaskan ibadah dengan segala bentuknya untuk Allah ta’ala semata.” (lihat Syahadat anLaa ilaha illallah, hal. 55)
Diantara dalil yang membuktikan kebenaran penafsiran ini adalah firman Allah (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah kecuali Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti akan memberikan petunjuk kepadaku.’.” (az-Zukhruf : 26-27)
Di dalam ungkapan ‘aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah’ terkandung makna dari kalimat ‘laa ilaha’ sedangkan dalam ungkapan ‘kecuali Dzat yang telah menciptakanku’ terkandung makna dari ungkapan ‘illallah’. Hal ini juga ditegaskan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah…” (HR. Muslim) (lihat Syahadat anLaa ilaha illallah, hal. 56-57)
Demikian pula, hal ini dibuktikan dengan pengingkaran kaum kafir Quraisy kepada seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah menceritakan tanggapan mereka itu dalam ayat-Nya (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini adalah suatu perkara yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5).
Inilah yang dipahami oleh orang-orang kafir di masa itu, sampai-sampai Abu Sufyan -di masa masih kafir- mengatakan kepada Heraklius mengenai isi ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia mengatakan, ‘Sembahlah Allah saja, dan jangan mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun…’.” (HR. Bukhari) (lihat Syahadat anLaa ilaha illallah, hal. 60)
Sumber Munculnya Dosa-Dosa
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah menjelaskan, “Mengikuti hawa nafsu adalah sumber munculnya dosa-dosa, dosa yang besar maupun yang kecil. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an terdapat penyebutan hawa nafsu sebagai ilah/sesembahan. Dan disebutkan bahwa sebagian manusia ada yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah/sesembahan. Artinya dia menjadikan sesembahannya adalah hawa nafsunya. Maka barangsiapa yang keadaannya telah mencapai tindakan menghalalkan segala yang diinginkan oleh hawa nafsunya dan meninggalkan segala hal yang tidak diinginkan oleh hawa nafsunya secara mutlak, maka dengan sebab ini orang itu menjadi keluar dari Islam…” (lihat Syarh Risalah Kalimatil Ikhlas, hal. 73)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah ‘berhala’, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fit-Tarbiyah wal-Ishlah, hal. 41)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/bertaubat dan kembali tunduk kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh Shalih as-Suhaimi, hal. 6)
Seorang muslim dikatakan merealisasikan tauhid di dalam dirinya apabila dia menundukkan hawa nafsunya kepada syari’at Allah. Sebab hakikat perealisasian tauhid itu adalah memurnikannya dari segala hal yang merusak dan menodainya seperti syirik, bid’ah, dan maksiat.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan, dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah.” (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 20)
Dari keterangan para ulama di atas bisa kita simpulkan bahwa :
– Tauhid adalah memurnikan ibadah untuk Allah semata
– Tauhid mengharuskan pengingkaran penghambaan kepada selain Allah
– Tauhid menuntut manusia tunduk dan patuh kepada Allah
– Tauhid menuntut hamba untuk menggantungkan hati kepada Allah semata
– Tauhid melahirkan ketundukan hawa nafsu kepada syari’at Allah
– Tauhid akan menjadi rusak dan tercemar oleh perbuatan syirik, bid’ah, dan maksiat
– Tauhid berakar dari dalam hati, sebagaimana syirik juga bersumber dari dalam hati
– Mengikuti hawa nafsu adalah sumber munculnya dosa-dosa
– Hawa nafsu yang tercela adalah yang menyimpang dari petunjuk Allah
—-
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (1) di sini [klik]
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (2) di sini [klik]
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (3) di sini [klik]
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (4) di sini [klik]
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (5) di sini [klik]
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (6) di sini [klik]
- Penjelasan Empat Kaidah Pokok (7) di sini [klik]